Kamis, 06 Oktober 2016

Resume Jurnal Ekonomi Koperasi



Resume Jurnal
PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN INDEKS PEKR
 
 
I. PENDAHULUAN
Pasca krisis ekonomi Indonesia telah memasuki usia satu dekade. Kemajuan perekonomian Indonesia secara mendasar masih belum signifikan, meskipun stabilitas ekonomi makro telah pulih, khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang terkendali, dan neraca perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh stabilitas politik. Sektor riil masih belum berkembang secara signifikan sejalan dengan stabilitas makro. Perekonomian secara mikro masih belum terpulihkan secara nyata karena engine of growth yang penting, yakni investasi dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa investasi terhadap PDB masih sekitar 22% selama ini, sangat jauh dari harapan untuk menjamin bergeraknya sektor riil. Untuk stabilitas sektor riil semestinya pangsa investasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di atas 35%. Sementara target pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi langsung nasional maupun asing (FDI). Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi, belum menjadi andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu sebabnya, pengangguran  dan kemiskinan masih menjadi persoalan pokok pembangunan ekonomi yang tidak hanya  di perdesaan juga sudah menggapai perkotaan. Pengangguran dan kemiskinan di kota terjadi lebih diperparah oleh urbanisasi orang-orang dari pedesaan yang umumnya tidak mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan.
Persoalan mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik investasi ke Indonesia adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif dan juga pembangunan koperasi adalah salah satu strategi setiap kepala daerah dalam pembangunan ekonomi.
Perekonomian daerah yang tinggi dapat patut dipertanyakan mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali yang paling tinggi di Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan 3 ekonomi koperasi. Dengan menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk disimak karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak mencerminkan sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi. 

II. METODE ANALISIS
Metode Analisis ini menggunakan data sekunder yang agregatif yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bank Indonesia (BI) yang tertampil dalam website masing-masing lembaga. Data PDB dan PDRB adalah masing-masing pendapatan domestik bruto Indonesia dan propinsi. Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha koperasi baik propinsi maupun nasional pada tahun 2006. Seyogianya, performa tahun 2007 lebih mutakhir digambarkan dalam analisis ini. Namun data PDRB tidak tersedia. Bahkan untuk tahun 2006, sebagian propinsi belum mampu menampilkan data PDRB.Sehingga penulis melakukan elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya dengan asumsi, pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam jangka pendek. Dalam analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan performa pengembangan ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari Pulau Sumatera, Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI).

III. HASIL ANALISIS
3.1. Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana terlihat dalam metode analisis, IPEK merupakan ukuran rating propinsi dalam performa ekonomi koperasi. Menampilkan hasil perhitungan IPEK sesuai dengan persamaan (3). Pada tahun 2006, sebaran rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086 dan terrendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi regionalnya. Dengan kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.
Berdasarkan Rating dan Peringkat Propinsi Tahun 2006 berdasarkan IPEK mencapai IPEK>1 hanya 12 propinsi atau 36.4% dari seluruh propinsi, selebihnya 64.6% di bawah nilai satu(IPEK<1). Hasil dari analisis ini memperlihatkan suatu hal yang tidak disangkasebelumnya secara radikal. Justru rating tertinggi dicapai oleh Propinsi Gorontalo (5.6086) dan terrendah Propinsi Kepulauan Riau (0.1224). Rating tinggi dicapai oleh 12 propinsi, yakni Gorontalo, Bali (3.5734), Jawa Timur (2.3627), Maluku (2.3113), DI Yogyakarta (1.7472), Jawa Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera Selatan (1.2468), Sulawesi Utara (1.1426), Sulawesi Selatan (1.0870), Lampung (1.0632), dan Sulawesi Tenggara (10239). Dengan rating tersebut, maka secara berurutan peringkat-1 diduduki oleh Propinsi Gorontalo, dan seterusnya sesuai dengan rating di atas. Hal yang mengejutkan lagi adalah propinsi yang selama ini diketahui selalu menunjukkan jumlah koperasi yang banyak ternyata tidak selamanya mampu menduduki posisi tertinggi dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Hal ini terlihat misalnya Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Riau. Bahkan posisi DKI Jakarta terpuruk pada urutan ke-21. Performa pengembangan ekonomi koperasi berdasarkan pulau juga menunjukkan pola yang sama dengan propinsi. Sedangkan berdasarkan kawasan (KBI dan KTI) sejalan dengan kondisi obyektifnya. Berdasarkan pulau, rating tertinggi mencapai 2.118 dan terrendah 0.1530. Tedapat empat dari tujuh pulau yang mencapai rating IPEK>1, dan tiga pulau di bawah satu (IPEK<1). Peringkat berdasarkan pulau dalam pengembangan ekonomi koperasi dengan rating di atas satu adalah secara berturutan adalah Bali & Nusa Tenggara (1), Maluku (2), Jawa (3), Sulawesi (4). Sedangkan IPEK<1 adalah Sumatera (5), Kalimantan (6), dan Papua (7). Posisi Pulau Jawa dan Sumatera yang hanya pada peringkat-3 dan peringkat-5 memang patut dipertanyakan. Kelebihan kemampuan dan aksesibilitasPulau Jawa dan Sumatera ternyata tidak menjamin posisinya tertinggi.
 3.2. Ukuran Ekonomi Regional
Sejauh mana kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan terbesar secara nasional.
Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun.Kontribusi ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02% dari PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB. Kontribusi ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam perekonomian. Pada Grafik 1 terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan. DKI Jakarta (1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5), Riau (6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok propinsi terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah. Posisi ekonomi propinsi ini sejalan dengan gambaran perbedaan kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap nasional.
Dilihat dari ukuran Ekonomi Regional Tahun 2006, tinjauan kapasitas ekonomi berdasarkan pulau besar di Indonesia, yang juga terungkap dalam riset ini. Propinsi-propinsi yang berada di Pulau Jawa dan Sumatera mendominasi perekonomian nasional karena lebih dari 75% kapasitas nasional merupakan porsi Jawa dan Sumatera. Selanjutnya terlihat porsi Pulau Jawa saja mencapai lebih dari separuh nasional, yakni 55.6%, menyusul wilayah 9 Pulau Sumatera mencapai lebih dari 20%. Sisanya, sebesar 23%, dibagi oleh wilayah di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku. Hal ini menunjukkan kapasitas ekonomi propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera jauh lebih besar daripada propinsi di luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional economic size KBI juga sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan sisanya kapasitas KTI hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas yang sangat tinggi tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar kawasan. Artinya, kemampuan ekonomi Jawa dan Bali dan propinsi di KBI jauh lebih tinggi daripada lainnya.
3.3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Tinjauan dari sisi pulau pada tahun 2006, koperasi di Pulau Jawa mendominasi perekonomian koperasi dengan kontribusi terbesar. Pada Ukuran Ekonomi Regional tahun 2006 terlihat ukuran ekonomi koperasi di Jawa mencapai angka 0.7530. Nilai UEKR rata-rata adalah 0.1429, sehingga setiap wilayah yang memperoleh UEKR di atas 0.1429 termasuk kategori tinggi. Jadi hanya Jawa yang termasuk kategori tinggi, sedangkan Sumatera masih di bawah rata-rata, yakni dengan UEKR sebesar 0.1326. Apabila Jawa dan Sumatera digabung maka nilai UEKR mencapai 0.8959 11 atau mendominasi sebesar 89.59% ekonomi koperasi Indonesia. Sisanya dibagi oleh Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Berdasarkan kawasan, KBI sangat mendominasi ekonomi koperasi nasional dengan UEKR mencapai 0.9075, artinya sebanyak 90.75% ekonomi koperasi nasional merupakan sumbangan koperasi di KBI. Performa ekonomi koperasi tersebut di atas mencerminkan ketimpangan antar propinsi, antar pulau, dan antar kawasan.
Kapasitas ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan,berdasarkan UER dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru sebagian besar propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki posisi tinggi dengan performa baik. Mengapa bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas ekonomi regional yang tinggi tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya. Artinya,pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi yang dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta dengan UER 15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara Gorontalo yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan kapasitas ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya sebesar 4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang mengalahkan Jawa dengan kapasitas ekonomi regional mencapai 55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan kapasitas ekonomi regionalnya mencapai 21.35% tapi hanya 12 mampu menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.

IV. Penutup
Dari uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa Ekonomi Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan bahwa koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak mampu diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah yang performanya rendah.
Ditinjau dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi koperasi, kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi, pulau, dan kawasan). Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar, informasi, dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih banyak. Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal, regional, dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan cooperative economic size yang tinggi pula.
Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal ini dimungkinkan karena otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daerah untuk mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah propinsi dalam pengembangan koperasi menjadi pemicu peningkatan persaingan antar daerah agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif antar propinsi dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi. Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar