Resume
Jurnal
PERINGKAT
PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS
BERDASARKAN INDEKS PEKR
I.
PENDAHULUAN
Pasca krisis ekonomi Indonesia telah
memasuki usia satu dekade. Kemajuan perekonomian Indonesia secara mendasar
masih belum signifikan, meskipun stabilitas ekonomi makro telah pulih,
khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang
terkendali, dan neraca perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh
stabilitas politik. Sektor riil masih belum berkembang secara signifikan
sejalan dengan stabilitas makro. Perekonomian secara mikro masih belum
terpulihkan secara nyata karena engine of growth yang penting, yakni investasi
dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa investasi terhadap PDB masih sekitar
22% selama ini, sangat jauh dari harapan untuk menjamin bergeraknya sektor
riil. Untuk stabilitas sektor riil semestinya pangsa investasi terhadap PDB
(Produk Domestik Bruto) di atas 35%. Sementara target pertumbuhan ekonomi yang
tinggi membutuhkan dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi langsung
nasional maupun asing (FDI). Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi, belum menjadi
andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu sebabnya, pengangguran dan kemiskinan masih menjadi persoalan pokok
pembangunan ekonomi yang tidak hanya di
perdesaan juga sudah menggapai perkotaan. Pengangguran dan kemiskinan di kota terjadi
lebih diperparah oleh urbanisasi orang-orang dari pedesaan yang umumnya tidak mempunyai
keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan.
Persoalan mendasar yang menjadi
penentu kemampuan menarik investasi ke Indonesia adalah iklim investasi dan
bisnis yang tidak kondusif dan juga pembangunan koperasi adalah salah satu
strategi setiap kepala daerah dalam pembangunan ekonomi.
Perekonomian daerah yang tinggi dapat patut
dipertanyakan mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di
Pulau Jawa dan Bali yang paling tinggi di Indonesia, ketersediaan infrastruktur
yang lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak
seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali dalam
mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap
performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan
posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan 3 ekonomi koperasi. Dengan
menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk disimak karena dapat
menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak mencerminkan
sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi.
II.
METODE ANALISIS
Metode Analisis ini menggunakan data
sekunder yang agregatif yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bank
Indonesia (BI) yang tertampil dalam website masing-masing lembaga. Data PDB dan
PDRB adalah masing-masing pendapatan domestik bruto Indonesia dan propinsi.
Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha koperasi baik
propinsi maupun nasional pada tahun 2006. Seyogianya, performa tahun 2007 lebih
mutakhir digambarkan dalam analisis ini. Namun data PDRB tidak tersedia. Bahkan
untuk tahun 2006, sebagian propinsi belum mampu menampilkan data PDRB.Sehingga
penulis melakukan elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya dengan
asumsi, pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam jangka pendek.
Dalam analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan performa pengembangan
ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari Pulau
Sumatera, Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI).
III.
HASIL ANALISIS
3.1.
Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana terlihat dalam metode
analisis, IPEK merupakan ukuran rating propinsi dalam performa ekonomi
koperasi. Menampilkan hasil perhitungan IPEK sesuai dengan persamaan (3). Pada
tahun 2006, sebaran rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah
mencapai 5.6086 dan terrendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa
ekonomi koperasi regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan
ekonomi regionalnya. Dengan kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional
terhadap nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating
0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224%
ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.
Berdasarkan Rating dan Peringkat
Propinsi Tahun 2006 berdasarkan IPEK mencapai IPEK>1 hanya 12 propinsi atau 36.4% dari seluruh
propinsi, selebihnya 64.6% di bawah nilai satu(IPEK<1). Hasil dari analisis
ini memperlihatkan suatu hal yang tidak disangkasebelumnya secara radikal.
Justru rating tertinggi dicapai oleh Propinsi Gorontalo (5.6086) dan terrendah
Propinsi Kepulauan Riau (0.1224). Rating tinggi dicapai oleh 12 propinsi, yakni
Gorontalo, Bali (3.5734), Jawa Timur (2.3627), Maluku (2.3113), DI Yogyakarta
(1.7472), Jawa Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera Selatan (1.2468),
Sulawesi Utara (1.1426), Sulawesi Selatan (1.0870), Lampung (1.0632), dan
Sulawesi Tenggara (10239). Dengan rating tersebut, maka secara berurutan
peringkat-1 diduduki oleh Propinsi Gorontalo, dan seterusnya sesuai dengan
rating di atas. Hal yang mengejutkan lagi adalah propinsi yang selama ini diketahui
selalu menunjukkan jumlah koperasi yang banyak ternyata tidak selamanya mampu
menduduki posisi tertinggi dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Hal ini
terlihat misalnya Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Timur,
dan Riau. Bahkan posisi DKI Jakarta terpuruk pada urutan ke-21. Performa
pengembangan ekonomi koperasi berdasarkan pulau juga menunjukkan pola yang sama
dengan propinsi. Sedangkan berdasarkan kawasan (KBI dan KTI) sejalan dengan
kondisi obyektifnya. Berdasarkan pulau, rating tertinggi mencapai 2.118 dan
terrendah 0.1530. Tedapat empat dari tujuh pulau yang mencapai rating
IPEK>1, dan tiga pulau di bawah satu (IPEK<1). Peringkat berdasarkan
pulau dalam pengembangan ekonomi koperasi dengan rating di atas satu adalah
secara berturutan adalah Bali & Nusa Tenggara (1), Maluku (2), Jawa (3),
Sulawesi (4). Sedangkan IPEK<1 adalah Sumatera (5), Kalimantan (6), dan Papua
(7). Posisi Pulau Jawa dan Sumatera yang hanya pada peringkat-3 dan peringkat-5
memang patut dipertanyakan. Kelebihan kemampuan dan aksesibilitasPulau Jawa dan
Sumatera ternyata tidak menjamin posisinya tertinggi.
3.2. Ukuran Ekonomi Regional
Sejauh mana kemampuan ekonomi relatif
regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi regional atau
kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur
berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan untuk mengukur perekonomian.
Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun
per tahun. Selama kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi
adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per
tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa
Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi Gorontalo,
sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan
Banten, termasuk penyumbang pendapatan terbesar secara nasional.
Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah
mencapai Rp3339.48 triliun.Kontribusi ekonomi regional terhadap PDB tertinggi
adalah 0.1502 atau 15.02% dari PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07%
dari PDB. Kontribusi ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh
karena itu kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam
perekonomian. Pada Grafik 1 terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai
kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo
yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi
regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan. DKI Jakarta
(1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5),
Riau (6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok
propinsi terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku,
Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah.
Posisi ekonomi propinsi ini sejalan dengan gambaran perbedaan kapasitas kawasan
antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap
nasional.
Dilihat dari ukuran Ekonomi Regional
Tahun 2006, tinjauan kapasitas ekonomi
berdasarkan pulau besar di Indonesia, yang juga terungkap dalam riset ini.
Propinsi-propinsi yang berada di Pulau Jawa dan Sumatera mendominasi
perekonomian nasional karena lebih dari 75% kapasitas nasional merupakan porsi
Jawa dan Sumatera. Selanjutnya terlihat porsi Pulau Jawa saja mencapai lebih
dari separuh nasional, yakni 55.6%, menyusul wilayah 9 Pulau Sumatera mencapai
lebih dari 20%. Sisanya, sebesar 23%, dibagi oleh wilayah di Kalimantan, Sulawesi,
Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku. Hal ini menunjukkan kapasitas
ekonomi propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera jauh lebih besar daripada
propinsi di luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional economic
size KBI juga sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan sisanya kapasitas KTI
hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas yang sangat
tinggi tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar kawasan. Artinya,
kemampuan ekonomi Jawa dan Bali dan propinsi di KBI jauh lebih tinggi daripada
lainnya.
3.3.
Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Tinjauan
dari sisi pulau pada
tahun 2006, koperasi di Pulau Jawa mendominasi perekonomian koperasi dengan
kontribusi terbesar. Pada Ukuran Ekonomi Regional tahun 2006 terlihat ukuran
ekonomi koperasi di Jawa mencapai angka 0.7530. Nilai UEKR rata-rata adalah
0.1429, sehingga setiap wilayah yang memperoleh UEKR di atas 0.1429 termasuk
kategori tinggi. Jadi hanya Jawa yang termasuk kategori tinggi, sedangkan
Sumatera masih di bawah rata-rata, yakni dengan UEKR sebesar 0.1326. Apabila
Jawa dan Sumatera digabung maka nilai UEKR mencapai 0.8959 11 atau mendominasi
sebesar 89.59% ekonomi koperasi Indonesia. Sisanya dibagi oleh Kalimantan,
Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Berdasarkan kawasan, KBI
sangat mendominasi ekonomi koperasi nasional dengan UEKR mencapai 0.9075, artinya
sebanyak 90.75% ekonomi koperasi nasional merupakan sumbangan koperasi di KBI.
Performa ekonomi koperasi tersebut di atas mencerminkan ketimpangan antar
propinsi, antar pulau, dan antar kawasan.
Kapasitas ekonomi regional, yakni
propinsi, pulau, dan kawasan,berdasarkan UER dan UEKR yang tinggi ternyata
belum menjamin tingginya peringkat propinsi itu dalam performa ekonomi
koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa
IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional
maupun ekonomi koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam
kategori performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta
tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru sebagian besar
propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki posisi tinggi
dengan performa baik. Mengapa bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas
ekonomi regional yang tinggi tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya.
Artinya,pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi
yang dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18% hanya mampu menciptakan
UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta dengan UER 15.02% hanya mampu
menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara Gorontalo yang hanya mempunyai
kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah mampu menciptakan ekonomi
koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan kapasitas ekonomi regional
1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya sebesar 4.0%. Berdasarkan pulau,
Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi 2.55% ternyata
mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang mengalahkan Jawa dengan
kapasitas ekonomi regional mencapai 55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi
koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan kapasitas ekonomi regionalnya
mencapai 21.35% tapi hanya 12 mampu menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera
sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.
IV.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dinyatakan
model analisis PEKR (Performa Ekonomi Koperasi Regional) dapat menjelaskan
dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran
ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang
kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang
tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan
ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan
bahwa koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak
mampu diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi
adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai
sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah yang
performanya rendah.
Ditinjau dari kapasitas ekonomi
regional dan ukuran ekonomi koperasi, kecenderungan terjadinya disparitas antar
regional (propinsi, pulau, dan kawasan). Disparitas ini disebabkan oleh
dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar, informasi,
dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih banyak.
Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal, regional,
dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan cooperative
economic size yang tinggi pula.
Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala
daerah yang peringkatnya rendah tapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau
kembali rencana strategi pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut
agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal ini dimungkinkan
karena otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daerah untuk mengambil
keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah propinsi
dalam pengembangan koperasi menjadi pemicu peningkatan persaingan antar daerah
agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif antar propinsi
dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi.
Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara
nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar